Back

USD/IDR Merangkak Naik, Rupiah Tertekan di Tengah Libur Panjang, Fokus Beralih ke Inflasi AS

  • Rupiah melemah 0,62% ke level 16.612,7/USD di tengah libur panjang dan jelang rilis data inflasi AS yang krusial bagi arah suku bunga The Fed.
  • Kesepakatan dagang AS-Tiongkok selama 90 hari mendorong penguatan pasar Asia, namun dampaknya terhadap Rupiah masih terbatas karena ketidakpastian global.
  • Pemangkasan tarif impor oleh AS dan Tiongkok berpotensi meredakan tekanan ekonomi global, tetapi Dolar AS tetap kuat, menekan nilai tukar mata uang negara berkembang termasuk Rupiah.

Di tengah suasana libur panjang di pasar keuangan Indonesia pada hari Selasa ini, nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) terhadap Dolar AS (USD) tercatat melemah. Berdasarkan data dari Investing, kurs pasangan mata uang USD/IDR naik sebesar 102,7 poin atau 0,62% menjadi 16.612,7.

Meskipun pergerakan harian menunjukkan tekanan pada rupiah, indikator teknis masih berada di zona netral, menandakan belum adanya sinyal kuat untuk aksi beli atau jual. Para pelaku pasar cenderung menahan diri sambil menunggu rilis data inflasi Amerika Serikat yang dijadwalkan malam ini waktu Indonesia.

Dolar AS Menguat, Tapi Saat Ini Terkoreksi

Penguatan dolar AS sempat terjadi terhadap mata uang utama dunia setelah pengumuman kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Namun pada siang hari ini, Indeks Dolar AS (DXY) terkoreksi ke level 101,54, seiring pasar mencerna dampak dari kesepakatan tersebut serta menunggu data inflasi yang akan mempengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed.

Dampak Kesepakatan Dagang terhadap Rupiah

Sementara itu, sentimen global membaik setelah AS dan Tiongkok sepakat menghentikan sementara perang dagang selama 90 hari. Hal ini mendorong reli di bursa saham Asia, termasuk lonjakan indeks Nikkei Jepang dan indeks Taiwan sebesar 2%, serta penguatan indeks MSCI Asia-Pasifik di luar Jepang ke level tertinggi dalam enam bulan terakhir.

Pelemahan Rupiah hari ini mencerminkan sikap wait-and-see investor terhadap perkembangan global. Meskipun kesepakatan dagang membawa angin segar bagi pasar Asia, termasuk potensi aliran modal masuk, rupiah masih terbebani oleh kekhawatiran terhadap prospek inflasi dan suku bunga di AS.

Revisi Tarif dan Prospek Ekonomi Global

Reuters melaporkan bahwa AS akan menurunkan tarif “de minimis” untuk pengiriman barang dari Tiongkok dari 120% menjadi 54%, mulai berlaku 14 Mei 2025. Ini merupakan bagian dari implementasi kesepakatan dagang terbaru yang memungkinkan pemangkasan tarif secara signifikan – dari 145% menjadi 30% untuk impor dari Tiongkok, dan dari 125% menjadi 10% untuk barang AS yang masuk ke Tiongkok.

Tim Riset Danske Bank menyebut langkah ini dapat mengurangi dampak negatif terhadap PDB AS, meskipun proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun 2025 tetap direvisi turun dari 2,2% menjadi 1,4%. Jika pemangkasan tarif menjadi permanen, risiko resesi AS bisa menurun – faktor yang pada akhirnya dapat memperkuat kembali dolar AS dan menekan mata uang negara berkembang seperti rupiah.

Fokus Investor Beralih ke Inflasi AS

Dengan kesepakatan dagang sebagai latar belakang, fokus investor kini beralih ke data inflasi AS yang akan dirilis malam ini (12:30 GMT/19:30 WIB). Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) diprakirakan tetap stabil di angka 2,4% YoY, sementara inflasi inti diproyeksikan tetap di 2,8% YoY. Jika data aktual menunjukkan kenaikan lebih tinggi dari ekspektasi, harapan akan pemangkasan suku bunga oleh The Fed bisa semakin meredup – skenario yang dapat memperkuat Dolar AS dan melemahkan Rupiah lebih lanjut.

Indikator Ekonomi

Indeks Harga Konsumen (Thn/Thn)

Kecenderungan inflasi atau deflasi diukur dengan menjumlahkan harga sekeranjang barang dan jasa secara berkala dan menyajikan datanya sebagai Indeks Harga Konsumen (IHK). Data IHK dikumpulkan setiap bulan dan dirilis oleh Departemen Statistik Tenaga Kerja AS. Laporan bulanan ini membandingkan harga barang-barang pada bulan referensi dengan bulan sebelumnya. IHK Tidak termasuk Makanan & Energi tidak menyertakan komponen makanan dan energi yang lebih fluktuatif untuk memberikan pengukuran tekanan harga yang lebih akurat. Secara umum, angka yang tinggi dipandang sebagai bullish bagi Dolar AS (USD), sedangkan angka yang rendah dianggap sebagai bearish.

Baca lebih lanjut

Rilis berikutnya Sel Mei 13, 2025 12.30

Frekuensi: Bulanan

Konsensus: 2.4%

Sebelumnya: 2.4%

Sumber: US Bureau of Labor Statistics

Federal Reserve AS (The Fed) memiliki mandat ganda untuk menjaga stabilitas harga dan lapangan kerja maksimum. Menurut mandat tersebut, inflasi seharusnya berada di sekitar 2% YoY dan telah menjadi pilar terlemah dari arahan bank sentral sejak dunia mengalami pandemi, yang berlanjut hingga saat ini. Tekanan harga terus meningkat di tengah masalah rantai pasokan dan kemacetan, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) bertahan di level tertinggi multi-dekade. The Fed telah mengambil langkah-langkah untuk mengekang inflasi dan diprakirakan akan mempertahankan sikap agresif di masa mendatang.

Pertanyaan Umum Seputar INFLASI

Inflasi mengukur kenaikan harga sekeranjang barang dan jasa yang representatif. Inflasi utama biasanya dinyatakan sebagai perubahan persentase berdasarkan basis bulan ke bulan (MoM) dan tahun ke tahun (YoY). Inflasi inti tidak termasuk elemen yang lebih fluktuatif seperti makanan dan bahan bakar yang dapat berfluktuasi karena faktor geopolitik dan musiman. Inflasi inti adalah angka yang menjadi fokus para ekonom dan merupakan tingkat yang ditargetkan oleh bank sentral, yang diberi mandat untuk menjaga inflasi pada tingkat yang dapat dikelola, biasanya sekitar 2%.

Indeks Harga Konsumen (IHK) mengukur perubahan harga sekeranjang barang dan jasa selama periode waktu tertentu. Biasanya dinyatakan sebagai perubahan persentase berdasarkan basis bulan ke bulan (MoM) dan tahun ke tahun (YoY). IHK Inti adalah angka yang ditargetkan oleh bank sentral karena tidak termasuk bahan makanan dan bahan bakar yang mudah menguap. Ketika IHK Inti naik di atas 2%, biasanya akan menghasilkan suku bunga yang lebih tinggi dan sebaliknya ketika turun di bawah 2%. Karena suku bunga yang lebih tinggi positif untuk suatu mata uang, inflasi yang lebih tinggi biasanya menghasilkan mata uang yang lebih kuat. Hal yang sebaliknya berlaku ketika inflasi turun.

Meskipun mungkin tampak berlawanan dengan intuisi, inflasi yang tinggi di suatu negara mendorong nilai mata uangnya naik dan sebaliknya untuk inflasi yang lebih rendah. Hal ini karena bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi yang lebih tinggi, yang menarik lebih banyak arus masuk modal global dari para investor yang mencari tempat yang menguntungkan untuk menyimpan uang mereka.

Dahulu, Emas merupakan aset yang diincar para investor saat inflasi tinggi karena emas dapat mempertahankan nilainya, dan meskipun investor masih akan membeli Emas sebagai aset safe haven saat terjadi gejolak pasar yang ekstrem, hal ini tidak terjadi pada sebagian besar waktu. Hal ini karena saat inflasi tinggi, bank sentral akan menaikkan suku bunga untuk mengatasinya. Suku bunga yang lebih tinggi berdampak negatif bagi Emas karena meningkatkan biaya peluang untuk menyimpan Emas dibandingkan dengan aset berbunga atau menyimpan uang dalam rekening deposito tunai. Di sisi lain, inflasi yang lebih rendah cenderung berdampak positif bagi Emas karena menurunkan suku bunga, menjadikan logam mulia ini sebagai alternatif investasi yang lebih layak.

 

Tingkat Pengangguran Inggris Naik Menjadi 4,5% di Kuartal hingga Maret, sesuai Prakiraan

Tingkat Pengangguran ILO Inggris naik tipis menjadi 4,5% dalam tiga bulan hingga Maret setelah melaporkan 4,4% pada kuartal hingga Februari, data yang diterbitkan oleh Kantor Statistik Nasional (ONS) menunjukkan pada hari Selasa. Prakiraan pasar adalah untuk angka 4,5% pada periode yang dilaporkan
Baca lagi Previous

Harga Palladium Hari Ini: Logam Langka Menguat di Awal Sesi Eropa

Logam Grup Platinum (PGM) diperdagangkan dengan nada positif di awal hari Selasa, menurut data FXStreet. Palladium (XPD) diperdagangkan di $951,00 per troy ons, dengan pasangan mata uang XPD/USD naik dari penutupan sebelumnya di $949,90
Baca lagi Next